RANGKUMAN
FILSAFAT ILMU
Mengurai
Ontologi, Epistrmologi dan Aksiologi Pengetahuan
Prof.
Dr. Ahmad Tafsir
BAB
I
PENDAHULUAN
Dalam bahasa Arab kata al-'ilm berarti pengetahuan (knowledge), sedangkan kata
"ilmu" dalam bahasa Indonesia biasanya merupakan terjemahan science.
Ilmu dalam arti science itu hanya sebagian dari al-'ilm dalam bahasa Arab.
Karena itu kata science seharusnya diterjemahkan sain saja. Maksudnya agar
orang yang mengerti bahasa Arab tidak bingung membedakan kata ilmu (sain) dengan
kata al-'ilm yang berarti knowledge.
Dalam mata kuliah Filsafat Pengetahuan (Philosophy of
Knowledge) yang didiskusikan tidak hanya pengetahuan sain (science),
disikusikan juga seluruh yang disebut pengetahuan termasuk pengetahuan yang
"aneh-aneh" seperti pelet, kebal, santet, saefi dan lain-lain.
Apa sih pengetahuan
itu? Pengetahuan ialah semua yang diketahui. Menurut al-Quran, tatkala manusia dalam
perut ibunya, ia tidak tahu apa-apa. Tatkala ia baru lahir pun barangkali ia
belum juga tahu apa-apa.
Barangkali rasa ingin tahu yang ada pada manusia itu
sudah built-in dalam penciptaan
manusia. Jadi, rasa ingin tahu itu adalah takdir. Manusia ingin tahu, lantas ia
mencari. Hasilnya ia tahu sesuatu. Nah, sesuatu itulah pengetahuan, yang diperoleh
tanpa usaha tadi bagaimana? ya, pengetahuan juga Pokoknya, pengetahuan ialah
semua yang diketahui, titik.
Salah satu tujuan perkuliahan Firsafat Pengetahuan ialah
agar kita memahami kapling pengetahuan. Ini penting, karena, dengan mengetahui
kapling pengetahuan, kita akan dapat memperlakukan masing-masing pengetahuan
itu sesuai kaplingnya. Yang akan dibahas berikut ini hanyalah pengetahuan yang
diusahakan. Pengetahuan jenis ini sangat penting. Jadi, sejak baris ini pengetahuan
tanpa usaha itu kita sisihkan dari pembahasan.
Pengetahuan sain ialah pengetahuan yang rasional dan
didukung bukti empiris. Namun, gejala yang paling menonjol dalam pengetahuan
sain ialah adanya bukti empiris itu.
Dalam bentuknya yang sudah baku, pengetahuan sain itu
mempunyai paradigma dan metode tertentu. Paradigmanya disebut paradigma sain (scientific paradigm) dan metodenya
disebut metode ilmiah (metode sain,
scientific method.). Formula utama dalam pengetahuan sain ialah buktikan
bahwa itu rasional dan tunjukkan bukti empirisnya.
Kebenaran pengetahuan filsafat hanya dapat
dipertanggungjawabkan secara rasional. Bila rasional, benar, bila tidak, salah.
Kebenarannya tidak pernah dapat dibuktikan secara empiris. Bila ia rasional dan
empiris, maka ia berubah menjadi pengetahuan sain.
Objek penelitiannya adalah objek-objek yang abstrak, karena
objeknya abstrak, maka temuannya juga abstrak. Paradigmanya ialah paradigma
rasional (rational paradigma), metodenya metode rasional (Kerlinger menyebutnya
method of reason).
Sampai di sini kita
sudah mengenal dua macam pengetahuan, yaitu pertama pengetahuan sain yang rasional
empiris, dan kedua pengetahuan filsafat yang lainya rasional. (Perlu segera
saya ingatkan bahwa ada kalanya pengetahuan filsafat itu berada pada level
supra rasional).
Objek abstrak-supra-rasional itu dapat diketahui dengan
menggunakan rasa, bukan pancaindera dan atau akal rasional. Bergson menyebut
alat itu intuisi, Kant menyebutnya moral atau akal praktis, filosof muslim seperti
Ibnu Sina menyebutnya akal mustafad,
shufi-shufi muslim menyebutnya qalb,
dzawq, kadang-kadang dhamir, kadang-kadang
sirr. Pengetahuan jenis ini memang aneh. Paradigmanya saya sebut paradigma
mistik (mystical paradigm), metodenya
saya sebut metode latihan tiyadhah)
dan metode yakin (percaya). Pengetahuan jenis
ini saya sebut
pengetahuan mistik (mistical knowlegde).
Kebenarannya pada umumnya tidak dapat dibuktikan secara empiris,
selalu tidak terjangkau pembuktian rasional.
Nah,sekarang kita memiliki
tiga macam pengetahuan, masing-masing memiliki objek, paradigma, metode dan
kriteria. Matrik berikut meringkas uraian di atas.
PENGETAHUAN
MANUSIA
Pengetahuan
|
Objek
|
Paradigma
|
Metode
|
Kriteria
|
SAIN
FILSAFAT
MISTIK
|
empiris
abstrak-rasional
abstrak-supranatural
|
sain
rasional
mistik
|
metode ilmiah
matode
rasional
latihan,
percaya
|
rasional-empiris
Rasional
rasa, iman,
logis, kadang empiris
|
Yang belum diurus didalam uraian tentang pengetahuan di
atas ialah pengetahuan seni (yaitu tentang indah tidak indah) dan etika
(tentang baik dan tidak baik). Saya belum tahu, dimana kaplingnya dan bagaimana
mengkaplingkannya. Agaknya objek pengetahuan seni adalah objek empiris, abstrak-rasional,
dan abstrak-supra-rasional; paradigmanya mungkin kumpulan tiga paradigma diatas,
metodenya juga demikian dan kriterianya ialah indah tidak-indah. Mengenai
pengetahuan tentang baik tidak-baik (etika), dugaan saya sampai saat ini, pengetahuan
tentang baik tidak-baik itu sama dengan seni tadi; ia menggunakan tiga
paradigma di atas, metodenya juga demikian, dan ukurannya ialah baik dan tidak
baik. Nah, baik dan tidak baik itu pun memiliki persoalan yang tidak sederhana;
baik menurut apa? Buruk menurut siapa? Pada zaman (waktu) kapan? Saya mengharap
ada ahli lain yang bersedia dan mau serta mampu menyempurnakan matrik di atas.
Logis
dan Rasional
Kant antara lain mengatakan bahwa rasional itu sebenarnya
sesuatu yang masuk akal sebatas hukum alam. Ternyata
istilah logis dan rasional merupakan dua istilah yang sangat populer dalam arti
dua istilah itu amat sering digunakan orang, baik ia kaum terpelajar naupun
kaum yang bukan tergolong terpelajar, digunakan orang kota dan juga orang desa,
bahkan anak-anak pun banyak yang sering menggunakan kedua istilah itu.
Yang kita dapat ialah (1) memang dua istilah itu popular
dalam arti sering digunakan oleh hampir semua orang dari semua kelas dan
golongan, (2) Pengguna istilah itu tidak mempedulikan apakah dua istilah sama
persis atau ada persamaan atau sama sekali berbeda.
Kant mengatakan bahwa apa yang kita katakana rasional itu
ialah suatu pemikiran yang masuk akal tetapi menggunakan ukuran hukum alam.
Dengan kata lain, menurut Kant rasional itu ialah kebenaran akal yang diukur
dengan hukum alam.
Kesimpulannya jelas: (1) Sesuatu yang rasional ialah sesuatu
yang mengikuti atau sesuai dengan hukum alam; (2) Yang tidak rasional ialah
yang tidak sesuai dengan hukum alam; (3) Kebenaran akal diukui dengan hukum alam.
Jadi, di sini, akal itu sempit saja, hanya sebatas hukum alam. Itulah sebabnya
saya dapat mengatakan bahwa pemikiran yang rasional sebenarnya belum dapat disebut
pemikiran tingkat sangat tinggi. Pemikiran rasional belum mampu mengungkap
sesuatu yang tidak dapat diukur dengan hukum alam.
Kesimpulannya ialah: Yang logis ialah yang masuk akal. Terdiri
atas yang logis-rasional dan yang logis-supra-rasional.
Kita dapat membuat
bebarapa ungkapan sebagai berikut:
1.
Yang logis ialah yang masuk akal.
2.
Yang logis itu mencakup yang rasional
dan yang supra-rasional.
3.
Yang rasional ialah yang masuk akal dan
sesuai dengan hukum alam.
4.
Yang supra-rasional ialah yang masuk
akal sekalipun tidak sesuai dengan hukum alam.
5.
Istilah logis boleh dipakai dalam
pengertian rasional atau dalam pengertian supra-rasional.
Beberapa kesimpulan
sebagai implikasi konsep logis di atas ialah:
1.
Isi al-Quran ada yang rasional dan ada yang
supra-rasional.
2.
Isi al-Qur'an itu semuanya logis;
sebagian logis-rasional sebagiannya logis-supra-rasional.
3.
Rumus metode ilmiah yang selama ini
logico-hypothetico-uerificatif;dapat diteruskan dengan penjelasan logik itu
harus diartikan rasio.
4.
Mazhab Rasionalisme tidak dapat diterima
oleh sistem ini; yang dapat diterima ialah mazhab Logisme.
KOMENTAR:
Filsafat Ilmu memang bukan hanya mempelajari bagaimana sifat filsafat dan
bagaimana kaidah Filsafat Ilmu, akan tetapi lebih jauh kita bisa memperdalam
konteks keilmuan lain yang membuat khazanah pemikiran kita dalam filsafat lebih
mendalam dan menyeluruh dalam artian komprehensif.
BAB
2
PENGETAHUAN SAIN
A. Ontologi Sain
Struktur sain seharusnya menjelaskan
cabang-cabang sain, serta isi setiap cabang itu. Namun di sini hanya dijelaskan
cabang-cabang sain dan itupun tidak lengkap.
1. Hakikat Pengetahuan Sain
Pada Bab 1 telah dijelaskan secara
ringkas bahwa pengetahuan sain adalah pengetahuan rasional empiris. Masalah
rasional dan empiris inilah yang dibahas berikut ini. Pertama, masalah
rasional.
Hipotesis harus berdasarkan rasio,
dengan kata lain hipotesis harus rasional.
Hipotesis saya itu belum diuji
kebenarannya. Kebenarannya barulah dugaan. Tetapi hipotesis itu telah mencukupi
dari segi kerasionalannya. Dengan kata lain, hipotesis saya itu rasional. Kata
“rasional” di sini menunjukkan adanya hubungan pengaruh atau hubungan sebab
akibat.
Kedua,
masalah empiris. Hipotesis saya itu saya uji (kebenarannya) mengikuti prosedur
metode ilmiah. Untuk menguji hipotesis itu saya gunakan metode eksperimen
dengan cara mengambil satu atau dua kampung yang disuruh makan telur secara
teratur selama setahun sebagai kelompok eksperimen, dan mengambil satu atau dua
kampung yang lain yagn tidak boleh makan telur, juga selama setahun itu,
sebagai kelompok kontrol. Pada akhir tahun, kesehatan kedua kelompok itu saya
amati. Hasilnya, kampung yang makan telur rata-rata lebih sehat.
Sekarang,
hipotesis saya semakin banyak makan telur akan semakin sehat atau telur
berpengaruh positif terhadap kesehatan terbukti. Setelah terbukti – sebaiknya
berkali-kali – maka hipotesis saya tadi berubah menjadi teori. Teori saya bahwa
“Semakin banyak makan telur akan semakin sehat” atau “Telur berpengaruh positif
terhadap kesehatan,” adalah teori yang rasional-empiris. Teori seperti inilah
yang disebut teori ilmiah (scientific theory). Beginilah teori dalam sain.
Cara
kerja saya dalam memperoleh teori itu tadi adalah cara kerja metode ilmiah.
Rumus baku metode ilmiah ialah: logico-hypothetico-verificatif (buktikan bahwa
itu logis, tarik hipotesis, ajukan bukti empiris). Harap dicatat bahwa istilah
logico dalam rumus itu adalah logis dalam arti rasional.
Pada dasarnya cara kerja sain adalah
kerja mencari hubungan sebab-akibat atau mencari pengaruh sesuatu terhadap yang
lain. Asumsi dasar sain ialah tidak ada kejadian tanpa sebab.Asumsi ini oleh
Fred N. Kerlinger (Foundation of Behavior
Research, 1973:378) dirumuskan dalam ungkapan post hoc, ergo propter hoc (ini, tentu disebabkan oleh ini). Asumsi
ini benar bila sebab akibat itu memiliki hubungan rasional.
Ilmu
atau sain berisi teori. Teori itu pada dasarnya menerangkan hubungan sebab
akibat. Sain tidak memberikan nilai baik atau buruk, halal atau haram, sopan
atau tidak sopan, indah atau tidak indah; sain hanya memberikan nilai benar
atau salah. Kenyataan inilah yang menyebabkan ada orang menyangka bahwa sain
itu netral. Dalam konteks seperti itu memang ya, tetapi dalam konteks lain
belum tentu ya.
2. Struktur Sain
Dalam garis besarnya sain dibagi dua,
yaitu sain kealaman dan sain sosial. Contoh berikut ini hendak menjelaskan
struktur sain dalam bentuk nama-nama ilmu. Nama ilmu banyak sekali, berikut
ditulis beberapa saja diantaranya:
1) Sain Kealaman
• Astronomi;
• Fisika: mekanika, bunyi, cahaya dan optik, fisika nuklir;
• Kimia: kimia organik, kimia teknik;
• Ilmu Bumi: paleontologi, ekologi, geofisika, geokimia,
mineralogi, geografi;
• Ilmu Hayati: biofisika, botani, zoologi;
2) Sain Sosial
• Sosiologi: sosiologi komunikasi, sosiologi politik, sosiologi
pendidikan
• Antropologi: antropologi budaya, antropologi ekonomi,
entropologi politik.
• Psikologi: psikologi pendidikan, psikologi anak, psikologi
abnormal;
• Ekonomi: ekonomi makro, ekonomi lingkungan, ekonomi pedesaan;
• Politik: politik dalam negeri, politik hukum, politik
internasional
Agar sekaligus tampak
lengkap, berikut ditambahkan Humaniora.
3) Humaniora
• Seni: seni abstrak, seni grafika, seni pahat, seni tari;
• Hukum: hukum pidana, hukum tata usaha negara, hukum adat
(mungkin dapat dimasukkan ke sain sosial);
• Filsafat: logika, ethika, estetika;
• Bahasa, Sastra;
• Agama: Islam, Kristen, Confusius;
• Sejarah: sejarah Indonesia, sejarah dunia (mungkin dapat
dimasukkan ke sain sosial). Demikian sebagian kecil dari nama ilmu (sain).
Ditambahkan juga pengetahuan Humaniora (yang mungkin dapat digolongkan dalam
sain sosial) dalam daftar di atas hanyalah dengan tujuan agar tampak lengkap.
B.
Epistemologi Sain
Pada bagian ini diuraikan obyek pengetahuan sain, cara
memperoleh pengetahuan sain dan cara mengukur benar-tidaknya pengetahuan sain.
1. Objek
Pengetahuan Sain
Objek
pengetahuan sain (yaitu objek-objek yang diteliti sain) ialah semua objek yang
empiris. Jujun S. Suriasumantri (Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer, 1994:
105) menyatakan bahwa objek kajian sain hanyalah objek yang berada dalam ruang
lingkup pengalaman manusia. Yang dimaksud pengalaman di sini ialah pengalaman
indera.
Menurut sain ia boleh meneliti apa
saja, ia bebas; menurut filsafat akan tergantung pada filsafat yang mana;
menurut agama belum tentu bebas.
2. Cara Memperoleh Pengetahuan Sain
Perkembangan
sain didorong oleh paham Muhanisme. Humanisme ialah paham filsafat yang
mengajarkan bahwa manusia mampu mengatur dirinya dan alam. Humanisme telah
muncul pada zaman Yunani Lama (Yunani Kuno).
Orang
Yunani Kuno sudah menemukan: manusia itulah yang membuat aturan itu. Humanisme mengatakan
bahwa manusia mampu mengatur dirinya (manusia) dan alam. Jadi, manusia itulah
yang harus membuat aturan untuk mengatur manusia dan alam.
Bila
aturan itu dibuat berdasarkan agama atau mitos, maka akan sulit sekali
menghasilkan aturan yang disepakati.
Pertama, mitos itu tidak mencukupi
untuk dijadikan sumber membuat aturan untuk mengatur manusia, dan kedua, mitos itu amat tidak mencukupi
untuk dijadikan sumber membuat aturan untuk mengatur alam.
Menurut
mereka aturan itu harus dibuat berdasarkan dan bersumber pada sesuatu yang ada
pada manusia. Alat itu ialah akal. Mengapa akal? Pertama, karena akal dianggap
mampu, kedua, karena akal pada setiap roang bekerja berdasarkan aturan yang
sama. Aturan itu ialah logika alami yang ada pada akal setiap manusia. Akal
itulah alat dan sumber yang paling dapat disepakati. Maka, Humanisme melahirkan
Rasionalisme.
Rasionalisme
ialah paham yang mengatakan bahwa akal itulah alat pencari dan pengukur
pengetahuan. Pengetahuan dicari dengan akal, temuannya diukur dengan akal pula.
Dicari dengan akal ialah dicari dengan
berpikir logis. Diukur dengan akal artinya diuji apakah temuan itu logis atau
tidak. Bila logis, benar; bila tidak, salah. Nah, dengan akal itulah aturan
untuk mengatur manusia dan alam itu dibuat. Ini juga berarti bahwa kebenaran
itu bersumber pada akal.
Dalam
proses pembuatan aturan itu, ternyata temuan akal itu seringkali bertentangan.
Kata seseorang ini logis, tetapi kata orang lain itu logis juga. Padahal ini
dan itu itu tidak sama, bahkan kadang-kadang bertentangan. Orang-orang sophis
pada zaman Yunani Kuno dapat membuktikan bahwa bergerak sama dengan diam,
kedua-duanya sama logisnya.
Yang diperoleh ialah berpikir logis
tidak menjamin diperolehnya kebenaran yang disepakati. Padahal, aturan itu
seharusnya disepakati. Kalau begitu diperlukan alat lain. Alat itu ialah
Empirisme. Empirisisme ialah paham filsafat yang mengajarkan bahwa yang benar
ialah yang logis dan ada bukti empiris.
Menurut Empirisisme yang benar adalah
bergerak, sebab secara empiris dapat dibuktikan bahwa anak panah itu bergerak. Dengan
Empirisisme inilah aturan (untuk mengatur manusia dan alam) itu dibuat.
Kekurangan Empirisisme ialah karena ia belum terukur. Empirisisme hanya sampai
pada konsep-konsep yang umum.
Positivisme
mengajarkan bahwa kebenaran ialah yang logis, ada bukti empirisme, yang
terukur. “Terukur” inilah sumbangan penting Positivisme. Positivisme sudah
dapat disetujui untuk memulai upaya membuat aturan untuk mengatur manusia dan
mengatur alam. Kata Positivisme, ajukan logikanya, ajukan bukti empirisnya yang
terukur. Tetapi bagaimana caranya? Kita masih memerlukan alat lain. Alat lain
itu ialah Metode Ilmiah. Sayangnya, Metode Ilmiah sebenarnya tidak mengajukan
sesuatu yang baru; Metode Ilmiah hanya mengulangi ajaran Positivisme, tetapi
lebih operasional. Metode Ilmiah mengatakan, untuk memperoleh pengetahuan yang
benar lakukan langkah berikut: logico-hypothetico-verificartif. Maksudnya,
mula-mula buktikan bahwa itu logis, kemudian ajukan hipotesis (berdasarkan
logika itu), kemudian lakukan pembuktian hipotesis itu secara empiris.
Dengan rumus Metode Ilmiah inilah kita
membuat aturan itu. Metode Ilmiah itu secara teknis dan rinci menjelaskan dalam
satu bidang ilmu yang disebut Metode Riset. Metode Riset menghasilkan
Model-model Penelitian. Nah, Model-model Penelitian inilah yang menjadi
instansi terakhir – dan memang operasional – dalam membuat aturan (untuk
mengatur manusia dan alam) tadi.
Urutan dalam proses terwujudnya aturan
seperti yang diuraikan di atas ialah sebagai berikut:
Humanisme
Rasionalisme
Empirisme
Positivisme
Metode
Ilmiah
Metode
Riset
Model-model
Penelitian
Aturan
untuk Mengatur Manusia
Aturan untuk Mengatur Alam
3. Ukuran Kebenaran Pengetahuan Sain
Ilmu berisi teori-teori. Jika Anda
mengambil buku Ilmu (sain) Pendidikan, maka Anda akan menemukan teori-teori
tentang pendidikan. Ilmu Bumi membicarakan teori-teori tentang bumi, Ilmu Hayat
membahas teori-teori tentang makhluk hidup. Demikian seterusnya. Jadi, isi ilmu
ialah teori. Jika kita bertanya apa ukuran kebenaran sain, maka yang kita tanya
ialah apa ukuran kebenaran teori-teori sain.
Ada
teori Sain Ekonomi: bila penawaran sedikit, permintaan banyak, maka harga akan
naik. Teori ini sangat kuat, karena kuatnya maka ia ditingkatkan menjadi hukum,
disebut hukum penawaran dan permintaan. Berdasarkan hukum ini, maka barangkali
benar dihipotesiskan.
Jika
hipotesis terbukti, maka pada saatnya ia menjadi teori. Jika sesuatu teori
selalu benar, yaitu jika teori itu selalu didukung bukti empiris, maka teori
itu naik tingkat keberadaannya menjadi hukum atau aksioma.
Hipotesis (dalam sain) ialah
pernyataan yang sudah benar secara logika, tetapi belum ada bukti empirisnya.
Belum atau tidak ada bukti empiris bukanlah merupakan bukti bahwa hipotesis itu
salah. Hipotesis benar, bila logis, titik. Ada atau tidak ada bukti empirisnya
adalah soal lain. Dari sini tahulah kita bahwa kelogisan suatu hipotesis – juga
teori – lebih penting ketimbang bukti empirisnya. Harap dicatat, bahwa
kesimpulan ini penting.
C. Aksiologi Sain
Pada bagian ini dibicarakan tiga hal
saja, petama kegunaan sain; kedua, cara sain menyelesaian masalah; ketiga,
netralitas sain. Sebenarnya, yang kedua itu merupakan contoh aplikasi yang
pertama.
1. Kegunaan Pengetahuan Sain
Secara umum, teori artinya pendapat yang
beralasan. Alasan itu dapat berupa argumen logis, ini teori filsafat; berupa
argumen perasaan atau keyakinan dan kadang-kadang empiris, ini teori dalam
pengetahuan mistik; berupa argumen logis-empiris, ini teori sain.
Sekurang-kurangnya ada tiga kegunaan
teori sain: sebagai alat membuat eksplanasi, sebagai alat peramal, dan sebagai
alat pengontrol.
1) Teori Sebagai Alat Ekspalanasi
Berbagai sain yang ada sampai sekarang
ini secara umum berfungsi sebagai alat untuk membuat eksplanasi kenyataan.
Menurut T. Jacob (Manusia, Ilmu dan Teknologi, 1993: 7-8) sain merupakan suatu
sistem eksplanasi yang paling dapat diandalkan dibandingkan dengan sistem
lainnya dalam memahami masa lampau, sekarang, serta mengubah masa depan.
Menurut teori Sain Pendidikan, anak-anak
yang orang tuanya cerai (biasanya disebut broken home), pada umumnya akan
berkembang menjadi anak nakal. Penyebabnya ialah karena anak-anak itu tidak
mendapat pendidikan yang baik dari kedua orang tuanya. Padahal pendidikan dari
kedua orang tua amat penting dalam pertumbuhan anak menuju dewasa.
2) Teori Sebagai Alat Peramal
Dalam
contoh kurs dolar tadi, dengan mudah orang ahli meramal. Misalnya, karena
bulan-bulan mendatang hutang luar negeri jatuh tempo semakin banyak, maka
diprediksikan kurs rupiah terhadap dolar akan semakin lemah. Ramalah lain dapat
pula dibuat, misalnya, harga barang dan jasa pada bulan-bulan mendatang akan
naik. Tepat dan banyaknya ramalan yang dapat dibuat oleh ilmuwan akan
ditentukan oleh kekuatan teori yang ia gunakan, kepandaian dan kecerdasan; dan
ketersediaan data di sekitar gejala itu.
3) Teori Sebagai Alat Pengontrol
Eksplanasi merupakan bahan untuk membuat
ramalan dan kontrol. Ilmuwan, selain mampu membuat ramalan berdasarkan
eksplanasi gejala, juga dapat membuat kontrol.
Perbedaan
prediksi dan kontrol ialah prediksi bersifat pasif; tatkala ada kondisi
tertentu, maka kita dapat membuat prediksi, misalnya akan terjadi ini, itu,
begini atau begitu. Sedangkan kontrol bersifat aktif; terhadap sesuatu keadaan,
kita membuat tindakan atau tindakan-tindakan agar terjadi ini, itu, begini atau
begitu.
2. Cara Sain Menyelesaian Masalah
Ilmu atau sain – yang isinya teori –
dibuat untuk memudahkan kehidupan. Bila kita menghadapi kesulitan (biasanya
disebut masalah), kita menghadapi dan menyelesaikan masalah itu dengan
menggunakan ilmu (sebenarnya menggunakan teori ilmu).
Janganlah hendaknya terlalu mengandalkan
sain tatkala timbul masalah. Ada dua sebab. Pertama, belum tentu teori sain
yang ada mampu menyelesaikan masalah yang dihadapi. Teori itu mungkin memadai
pada zaman tertentu, digunakan untuk menghadapi masalah yang sama pada zaman
yang lain, belum tentu teori itu efektif. Kedua, belum tentu setiap masalah
tersedia teori untuk menyelesaikannya. Masalah selalu berkembang lebih cepat
daripada perkembangan teori. Ilmu kita ternyata tidak pernah mencukupi untuk
menyelesaikan masalah demi masalah yang diharapkan kepada kita.
Apabila
sain gagal menyelesaikan suatu masalah yang diajukan kepadanya, maka sebaiknya
masalah itu dihadapkan ke filsafat, mungkin filsafat mampu menyelesaikannya.
Tentu dengan cara filsafat atau mungkin pengetahuan mistik dapat membantu. Yang
terbaik ialah setiap masalah diselesaikan secara bersama-sama oleh sain,
filsafat dan mistik, yang bekerjasama secara terpadu.
3. Bonus
Netralitas Sain
Pada tahun 1970-an terjadi polemik
antara Mukti Alin (IAIN Yogyakarta) dengan Sadali (ITB). Mukti Ali menyatakan
bahwa sain itu netral, sementara Sadali berpendapat sain tidak netral. Ternyata
Mukti Ali hanya memancing, ia tidak sungguh-sungguh berpendapat begitu.
Netral biasanya diartikan tidak memihak.
Dalam kata “sain netral” pengertian itu juga terpakai. Artinya: sain tidak
memihak pada kebaikan dan tidak juga pada kejahatan. Itulah sebabnya istilah
sain netral sering diganti dengan istilah sain bebas nilai. Nah, bebas nilai
(value free) itulah yang disebut sain netral; sedangkan lawannya ialah sain
terikat, yaitu terikat nilai (value bound).
Bila sain itu kita anggap netral,
atau kita mengatakan bahwa sain sebaiknya netral keuntungannya ialah
perkembangan sain akan cepat terjadi. Karena tidak ada yang menghambat atau
menghalangi tatkala peneliti (1) memilih dan menetapkan objek yang hendak
diteliti, (2) cara meneliti, dan (3) tatkala menggunakan produk penelitian.
Orang yang menganggap sain tidak netral, akan dibatasi oleh nilai dalam (1)
memilih objek penelitian, (2) cara meneliti, dan (3) menggunakan hasil
penelitian.
Tatkala akan meneliti kerja jantung
manusia, orang yang beraliran sain tidak netral akan mengambil – mungkin –
jantung kelinci atau jantung hewan lainnya yang paling mirip dengan manusia.
Orang yang beraliran sain netral – mungkin – akan mengambil orang gelandangan
untuk diambil jantungnya. Orang yang beraliran sain value bound, dalam
epistemologi akan meneliti jantung itu tidak dengan menyakiti kelinci itu,
sementara orang yang menganut sain value free tidak akan mempedulikan apakah
subjek penelitian menderita atau tidak. Orang yang beraliran sain netral akan
menggunakan hasil penelitian itu secara bebas, sedang orang yang bermazhab sain
terikat akan menggunakan produk itu hanya untuk kebaikan saja. Jadi, persoalan
netralitas sain itu terdapat baik pada epistemologi, maupun aksiologi sain.
Sebenarnya dalam ontologi pun demikian. Dalam contoh di atas objek dan metode
penelitian adalah epistemologi, sedang penggunaan hasil penelitian adalah
aksiologi. Ontologinya ialah teori yang ditemukan itu. Ontologi itu pun netral,
ia tidak boleh melawan nilai yang diyakini kebenarannya oleh peneliti.
Apa kerugiannya bila kita ambil paham
sain netral? Bila kita paham sain netral? Bila kita pilih paham sain netral
maka kerugiannya ialah ia akan melawan keyakinan, misalnya keyakinan yang
berasal dari agama. Percobaan pada manusia mungkin akan diartikan sebagai
penyiksaan kepada manusia. Maka, penganut sain tidak netral akan memilih objek
penelitian yang mirip dengan manusia. Untuk melihat proses reproduksi, tentu
harus ada pertemuan antara sperma an ovum. Untuk itu peneliti dari kalangan
penganut sain netral tidak akan keberatan mengambil sepasang lelaki-perempuan
yang belum nikah untuk mengadakan hubungan kelamin yang dari situ diamati
bertemunya sperma dan ovum. Peneliti yang menganut sain tidak netral akan
melakukan itu terhadap pasangan yang telah menikah. Ini pada aspek
epistemologi.
Yang paling
merugikan kehidupan manusia ialah bila paham sain netral itu telah menerapkan
pahamnya pada aspek aksiologi. Mereka dapat saja menggunakan hasil penelitian
mereka untuk keperluan apapun tanpa pertimbangan nilai.
Paham sain netral sebenarnya telah
melawan atau menyimpang dari maksud penciptaan sain. Tadinya sain dibuat untuk
membantu manusia dalam menghadapi kesulitan hidupnya. Paham ini sebenarnya
telah bermakna bahwa sain itu tidak netral, sain memihak pada kegunaan membantu
manusia menyelesaikan kesulitan yang dihadapi oleh manusia. Sementara itu,
paham sain netral justru akan memberikan tambahan kesulitan bagi manusia. Kata
kunci terletak dalam aksiologi sain, yaitu ini: tatkala peneliti akan membuat
teori, sebenarnya ia telah berniat akan membantu manusia menyelesaikan masalah
dalam kehidupannya, mengapa justru temuannya menambah masalah bagi manusia? Karena
ia menganut sain netral padahal seharusnya ia menganut sain tidak netral.
Berdasarkan uraian sederhana di atas
dapatlah ditarik kesimpulan bahwa yang paling bijaksana ialah kita memihak atau
memilih paham bahwa sain tidaklah netral. Sain itu bagian dari kehidupan,
sementara kehidupan itu secara keseluruhan tidaklah netral.
Paham sain tidak netral adalah paham
yang sesuai dengan ajaran semua agama dan sesuai pula dengan niat ilmuwan
tatkala menciptakan teori sain. Jadi, sebenarnya tidak ada jalan bagi penganut
sain netral.
Berikut dikutipkan sebagian dari tulisan
Prof. Herman Soewardi, guru besar Filsafat Ilmu Universitas Padjadjaran
Bandung. Kutipan ini dapat digunakan untuk menambah bahan pertimbangan dalam
menentukan apakah sain sebaiknya netral atau tidak netral.
Menurut
Herman Soewardi (Orasi Ilmiah pada Dies Natalis IAIN Sunan Gunung Djati Bandung
ke-36 8 April 2004), dari sudut pandang epistemologi, sain terbagi dua, yaitu
Sain Formal dan Sain Emperikal. Menurutnya, Sain Formal itu berada di pikiran
kita yang berupa kontemplasi dengan menggunakan simbol-simbol, merupakan
implikasi-implikasi logis yang tidak berkesudahan. Sain Formal itu netral
karena ia berada di dalam kepala kita dan ia diatur oleh hukum-hukum logika.
Adapun Sain Emperikal, ia tidak netral.
Sain Emperikal merupakan wujud konkret, yaitu jagad raya ini, isinya ialah
jalinan-jalinan sebab akibat. Sain Emperikal itu tidak netral karena dibangun
oleh pakar berdasarkan paradigma yang menjadi pijakannya, dan pijakannya itu
merupakan hasil penginderaan terhadap jagad raya. Benar bahwa Sain Emperikal
itu terdiri atas logika (jalinan sebab akibat), namun ia dimulai dari suatu
pijakan yang bermacam-macam. Pijakan itu tentulah nilai. Maka sifatnya tidak
netral. Tidak netral karena dipengaruhi oleh pijakannya itu.
Selanjutnya Herman Soewardi menambahkan
uraian berikut. Barangkali kita menyangka bahwa kausalitas itu dimana-mana
sama, biasanya dirumuskan dalam bentuk proposisi X menyebabkan Y (X
Y). Memang begitu. Namun, bila diamati lebih dalam, ternyata hal itu tidaklah
sederhana itu. Baiklah kita periksa pandangan David Hume, Immanuel Kant dan
Al-Ghazali.
David Hume mengatakan bahwa dalam alam
pikiran Empiricisme tidak dapat dibenarkan adanya generalisasi sampai munculnya
hukum X Y. Dari suatu kejadian sampai menjadi hukum (teori)
diperlukan adanya medium yang berupa reasoning jalinan sebab akibat yang banyak
sekali. Dan reasoning itu tidak mungkin. Tidak mungkin karena rumitnya itu.
Karena itu, hanyalah kebiasaan orang saja (tidak ada dasar logikanya) untuk
menyimpulkan setiap X akan diikuti Y. Pendapat ini terkenal dengan istilah
skeptisisme Hume. Jadi, menurut Hume, sebab akibat itu sebenarnya tidaklah
diketahui.
Immanuel Kant membantah skeptisisme Hume
itu dengan mengatakan bahwa ada pengetahuan bentuk ketiga, yaitu a priori
sintetik. Ini menurut Herman Soewardi, adalah suatu jalinan sintetik yang sudah
ada, yang keadaannya itu diterangkan oleh Kant secara transendental. Inilah
medium yang dicari oleh Hume, yang bagi orang Islam jalinan sintetik itu adalah
ciptaan Tuhan yang sudah ada sejak semula. Suatu kejadian X → Y sebenarnya
terjadi di atas medium itu, kejadian X → Y itulah yang selanjutnya menjadi
hukum yang general.
Tampak pada
kita bahwa dengan mengikuti acara Emperisisme, siapapun tidak akan mampu
menunjukkan medium itu. Sehubungan dengan ini Kant mengatakan bahwa Tuhan lah
yang menciptakan medium tersebut.
Tentang kemahakuasaan Tuhan itu
Al-Ghazali menyatakan lebih tandas lagi sehubungan dengan hukum X → Y. Kata
Al-Ghazali, kekuatan X menghasilkan Y bukan pada atau milik X itu, melainkan
pada atau milik Tuhan. Bila kapas diletakkan di atas api, kekuatan untuk
terjadinya terbakar atau tidak terbakar kapas itu bukan pada api melainkan pada
Tuhan. Terbakarnya kapas oleh api merupakan suatu regularitas atau kebiasaan
atau adat, adat itu dari Tuhan, namun pada kejadian khusus seperti pada Nabi
Ibrahim, api tidak membakar. Karena Tuhan pada waktu itu tidak memberikan
kekuatan membakar pada api. Ini merupakan hukum kausalitas yang sangat
fundamental, bahwa kekuatan pada penyebab (X) adalah kekuatan Tuhan. Sekarang,
istilah yang mendunia untuk menyatakan kekuatan Tuhan itu ialah faktor Z.
Kekuatan dari atau pada Tuhan itu,
baiklah kita sebut faktor Z, menghasilkan suatu pengertian bahwa kausalitas itu
sifatnya berubah dari cukup (sufficient) menjadi tergantung (contingent) pada
faktor lain (dalam hal ini Tuhan).
Dari kesimpulan itu akan muncul
kesimpulan lain, yaitu kausalitas atau linkage menjadi bergeser dari tidak
memperhitungkan kehendak Tuhan ke memperhitungkan kehendak Tuhan. Dari sini
muncul beberapa pergeseran, yaitu:
•
Dari deterministik (pasti) bergeser ke stokastik (mungkin);
•
Dari sebab akibat terjadi pada waktu yang sama ke sebab akibat terjadi pada
waktu yang berlainan;
•
Dari cukup (sufficient) bergeser ke tergantung (contingent) pada faktor Z;
•
Dari niscaya (necessary) bergeser ke berganti (sustitutable).
Sain Formal dikatakan netral
karena hukum-hukumnya bukan dibuat oleh manusia. Hukum-hukumnya dibuat oleh
Tuhan. Hukum-hukumnya itu ada di dalam kepala kita.
Adapun Sain
Emperikal, ia tidak netral. Tidak netral karena ia dibangun berdasarkan pijakan
seseorang pakar yang mungkin berada dengan pakar lain. Tentang ini Thomas Kuhn
memberikan eksplanasi sebagai berikut.
Sain Emperikal disebut Kuhn Sain Normal
(Normal Science). Sain Normal muncul dari paradigma, yaitu suatu pijakan, dari
seseorang pakar. Dalam perkembangannya Sain Normal mengahadapi fenomena yang
tidak dapat diterangkan oleh teori sain yang ada, ini disebut anomali.
Selanjutnya anomali ini menimbulkan krisis (ketidakpercayaan para pakar
terhadap teori itu) sehingga akan timbul paradigma baru atau pijakan baru.
Inilah perkembangan sain, berubah dari paradigma yang satu ke paradigma yang
lain. Karena itu Sain Normal itu tidak netral.
Masalah utama Sain Normal ialah masalah
penginderaan. Padahal kita tahu bahwa metode andalan – bahkan metode
satu-satunya bagi Sain Normal ialah observasi (dalam arti luas), sementara
observasi itu sangat mengandalkan penginderaan. Tetapi pada penginderaan inilah
kelemahan utama Sain Normal.
Menurut
cara berpikir Empirisisme penginderaan adalah modal fundamental bagi manusia
untuk mengetahui jagad raya. Tetapi, seperti dikatakan Kuhn, yang orang ketahui
itu tidaklah bersifat tetap, melainkan sementara dan akan berubah setelah
terjadi anomali.
.
Krisis Sain
Modern
Sain modern
ialah sain empirikal, yaitu sain normal menurut Kuhn. Tulisan ini esensinya
diambil dari buku Herman Soewardi Tiba Saatnya Islam Kembali Kaffah Kuat dn
Berijtihad (Suatu Kognisi Baru tentang Islam), 1999, Bagian Tiga Bab 14 yang
berjudul Tarnas The Cisis of Modern Science.
Pada tahun
1993, buku Tarnas yang berjudul The Passion of the Western Mind, terbit. Dalam
buku itu ada sebuah bab yang berjudul The Crisis o Modern Science.
Menurut
Tarnas, sedikitnya ada enam hal yang menarik perhatian tentang sain modern.
Pertama, postulatat dasar sain modern ialah space, matter, causality, dan
observation, ternyata semuanya dinyatakan tidak benar. Kedua, dianutnya
pendapat Kant bahwa yang orang katakan jagad raya, bukanlah jagad raya yang
sebenarnya, tetapi jagad raya sebagaimana diciptakan oleh pikiran manusia.
Ketiga, determinisme Newton kehilangan dasar, orang pindah ke stochastic.
Keempat, partikel-partikel sub-atomatik terbuka untuk interpretsi spiritual.
Kelima, adanya uncertainty sebagaimana ditemukan oleh Heisenberg. Keenam,
kerusakan ekologi dan atmosfir yang menyeluruh yang disebut Tarnas planetary
ecological crisis.
Pertama, tentang space atau jagad raya.
Pandangan sekarang yang berlaku ialah bahwa space itu terbatas (finite), tetapi
lepas bentuknya lengkung (tidak linier) sehingga garis edar benda-benda angkasa
berbentuk elips, bukan karena tertarik gravitasi ke arah matahari melainkan
memang bentuknya lengkung. Kini, berlaku pandangan empat dimensi space-time,
bukan hanya tiga seperti pada geometri Eucled.
Jagad raya yang kita ketahui bukanlah
jagad raya yang sebenarnya, ia adalah jagad raya ciptaan manusia. Inilah
pandangan Kant. Sekarang, terbukti penemuan-penemuan pada mekanika kuantum
menyokong pandangan Kant itu. Maka, yang dikatakan jagad raya (space) itu
hanyalah hubungan manusia dengan jagad raya, atau jagad raya sebagaimana tampak
menurut apa yang dipertanyakan oleh manusia.
Kedua, tentang matter atau materi. Baik
Democritus maupun Newton, memandang materi itu solid. Pandangan sekarang
menyatakan materi itu kosong. Mekanika kuantum membuktikannya.
Ketiga, tentang kausalitas. Sain modern
menganggap kausalitas itu sederhana. Kini ditemukan bahwa partikel-partikel
saling mempengaruhi tanpa dapat dipahami bagaimana hubungan kausalitas di
antara mereka; kausalitas itu kompleks.
Keempat,
tentang uncetainty dari Heisenberg. Ternyata observasi tdh elektron hanya dapat
dilakukan terhadap salah satu posisi atau kecepatannya, selain itu observer
tidak dapat mengobservasinya tanpa merusaknya. Heisenberg menemukan bahwa
gerakan atom tidak dapat keduanya ditetapkan sekaligus, posisi atau
kecepatannya. Ini mempertanyakan tentang kelemahan observasi.
Kelima,
tentang partikel sub-atomatik. Capra mendapati bahwa ada semacam kecerdasan
elektron, sehingga kini fisika terbuka untuk menerima interpretasi spiritual.
Keenam,
kerusakan ekologi menyeluruh. Ini adalah tanda-tanda konkret adanya dampak
buruk sain, ia merupakan kebalikan dari yang diharapkan dari sain. Dampak itu
antara lain berupa kontaminasi air, udara, tanah, efek buruk berganda pada
kehidupan tetumbuhan dan hewan, kepunahan berbagai species, kerusakan hutan,
erosi tanah, pengurasan air tanah, akumulasi ilmiah yang toksik, efek rumah
kaca, bolongnya ozon, salah satu ujungnya ialah ekonomi dunia semakin runyam.
Pengembangan
Ilmu
Jika Anda
membuka Ilmu Bumi, Anda akan melihat bahwa isinya ialah teori tentang bumi;
buku Ilmu Hayat isinya adalah teori tentang makhluk hidup; buku Sejarah isinya
teori tentang kejadian masa lalu; buku Filsafat isinya teori filsafat, dan
begitulah selanjutnya. Jadi, isi ilmu adalah teori.
Secara umum
teori ialah pendapat yang beralasan. Semakin banyak makan telor akan semakin
sehat atau telor berpengaruh positif terhadap kesehatan, adalah teori dalam
sain. Bila permintaan meningkat maka harga akan naik, juga adalah teori sain.
Menurut Plato, penjaga negara (presiden dan menteri) haruslah filosof dan
mereka tidak boleh berkeluarga, jika berkeluarga maka mereka tidak akan beres
menjaga negara. Ini teori filsafat. Jika penduduk suatu negara beriman bertakwa
maka Tuhan akan menurunkan berkah bagi mereka dari langit. Ini salah satu teori
dalam agama Islam. Jin dapat disuruh melakukan sesuatu. Ini teori dalam
pengetahuan mistik. Teori adalah pendapat (yang beralasan).
Karena isi ilmu adalah teori, maka
mengembangkan ilmu adalah teorinya. Ada beberapa kemungkinan dalam mengembangkan
teori. Pertama, menyusun teori baru. Dalam hal ini memang belum pernah dari
teori yang muncul, lantas seseorang menemukan teori baru. Kedua, menemukan
teori baru untuk mengganti teori lama. Dalam kasus ini, tadinya sudah ada
teorinya tetapi karena teori ini sudah tidak mampu menyelesaikan masalah yang
mestinya ia mampu menyelesaikannya, maka teori itu diganti dengan teori baru.
Ketiga, merevisi teori lama. Dalam hal peneliti atau pengembang, tidak
membatalkan teori lama, tidak juga menggantinya dengan teori baru, ia hanya
merevisi, ia hanya menyempurnakan teori lama itu. Keempat, membatalkan teori
lama. Ia hanya membatalkan, tidak menggantinya dengan teori baru. Ini aneh: ia
mengurangi jumlah teori yang sudah ada, ia membatalkan teori dan tidak menggantinya
dengan teori baru, tetapi tetap dikatakan ia mengembangkan ilmu.
Bagaimana
prosedur serta langkah-langkah pengembangan ilmu akan amat ditentukan oleh
jenis ilmunya. Itu memerlukan organisasi, ada managernya. Itu memerlukan biaya
tinggi kadang-kadang memerlukan tenaga yang sedikit atau banyak; memerlukan
waktu, ada yang sebentar dari yang lama, bahkan ada yang sangat lama.
KOMENTAR
:
Refleksi dari pada BAB 2 yang sangat bermanfaat bagi tingkat pembelajaran
mahasiswa ini adalah mengerti bagaimana problematika dalam kehidupan
bermasyarakat . Alhasil, kita sadar akan kehidupan ini banyak sekali yang harus
kita telaah bukan hanya memikirkannya. Sebagai contoh kasus dengan adanya
pemikiran disiplin Filsafat Ilmu, maka kita bisa memahami ilmu mistis. Hemat
penyusun, sudah selayaknya kita bisa mengimplemetasikannya dalam kehidupan
sehari-hari dari apa yang ada dalam buku ini.
Belum ada tanggapan untuk "RANGKUMAN FILSAFAT ILMU Prof. Dr. Ahmad Tafsir"
Post a Comment