Monday 14 April 2014

RANGKUMAN FILSAFAT ILMU Prof. Dr. Ahmad Tafsir




RANGKUMAN
FILSAFAT ILMU
Mengurai Ontologi, Epistrmologi dan Aksiologi Pengetahuan
Prof. Dr. Ahmad Tafsir

BAB I
PENDAHULUAN

            Dalam bahasa Arab kata al-'ilm berarti pengetahuan (knowledge), sedangkan kata "ilmu" dalam bahasa Indonesia biasanya merupakan terjemahan science. Ilmu dalam arti science itu hanya sebagian dari al-'ilm dalam bahasa Arab. Karena itu kata science seharusnya diterjemahkan sain saja. Maksudnya agar orang yang mengerti bahasa Arab tidak bingung membedakan kata ilmu (sain) dengan kata al-'ilm yang berarti knowledge.
            Dalam mata kuliah Filsafat Pengetahuan (Philosophy of Knowledge) yang didiskusikan tidak hanya pengetahuan sain (science), disikusikan juga seluruh yang disebut pengetahuan termasuk pengetahuan yang "aneh-aneh" seperti pelet, kebal, santet, saefi dan lain-lain.
Apa sih pengetahuan itu? Pengetahuan ialah semua yang diketahui. Menurut al-Quran, tatkala manusia dalam perut ibunya, ia tidak tahu apa-apa. Tatkala ia baru lahir pun barangkali ia belum juga tahu apa-apa.
            Barangkali rasa ingin tahu yang ada pada manusia itu sudah built-in dalam penciptaan manusia. Jadi, rasa ingin tahu itu adalah takdir. Manusia ingin tahu, lantas ia mencari. Hasilnya ia tahu sesuatu. Nah, sesuatu itulah pengetahuan, yang diperoleh tanpa usaha tadi bagaimana? ya, pengetahuan juga Pokoknya, pengetahuan ialah semua yang diketahui, titik.
            Salah satu tujuan perkuliahan Firsafat Pengetahuan ialah agar kita memahami kapling pengetahuan. Ini penting, karena, dengan mengetahui kapling pengetahuan, kita akan dapat memperlakukan masing-masing pengetahuan itu sesuai kaplingnya. Yang akan dibahas berikut ini hanyalah pengetahuan yang diusahakan. Pengetahuan jenis ini sangat penting. Jadi, sejak baris ini pengetahuan tanpa usaha itu kita sisihkan dari pembahasan.
            Pengetahuan sain ialah pengetahuan yang rasional dan didukung bukti empiris. Namun, gejala yang paling menonjol dalam pengetahuan sain ialah adanya bukti empiris itu.
            Dalam bentuknya yang sudah baku, pengetahuan sain itu mempunyai paradigma dan metode tertentu. Paradigmanya disebut paradigma sain (scientific paradigm) dan metodenya disebut metode ilmiah (metode sain, scientific method.). Formula utama dalam pengetahuan sain ialah buktikan bahwa itu rasional dan tunjukkan bukti empirisnya.
            Kebenaran pengetahuan filsafat hanya dapat dipertanggungjawabkan secara rasional. Bila rasional, benar, bila tidak, salah. Kebenarannya tidak pernah dapat dibuktikan secara empiris. Bila ia rasional dan empiris, maka ia berubah menjadi pengetahuan sain.
            Objek penelitiannya adalah objek-objek yang abstrak, karena objeknya abstrak, maka temuannya juga abstrak. Paradigmanya ialah paradigma rasional (rational paradigma), metodenya metode rasional (Kerlinger menyebutnya method of reason).
Sampai di sini kita sudah mengenal dua macam pengetahuan, yaitu pertama pengetahuan sain yang rasional empiris, dan kedua pengetahuan filsafat yang lainya rasional. (Perlu segera saya ingatkan bahwa ada kalanya pengetahuan filsafat itu berada pada level supra rasional).
            Objek abstrak-supra-rasional itu dapat diketahui dengan menggunakan rasa, bukan pancaindera dan atau akal rasional. Bergson menyebut alat itu intuisi, Kant menyebutnya moral atau akal praktis, filosof muslim seperti Ibnu Sina menyebutnya akal mustafad, shufi-shufi muslim menyebutnya qalb, dzawq, kadang-kadang dhamir, kadang-kadang sirr. Pengetahuan jenis ini memang aneh. Paradigmanya saya sebut paradigma mistik (mystical paradigm), metodenya saya sebut metode latihan tiyadhah) dan metode yakin (percaya). Pengetahuan jenis
ini saya sebut pengetahuan mistik (mistical knowlegde).
            Kebenarannya pada umumnya tidak dapat dibuktikan secara empiris, selalu tidak terjangkau pembuktian rasional.
Nah,sekarang kita memiliki tiga macam pengetahuan, masing-masing memiliki objek, paradigma, metode dan kriteria. Matrik berikut meringkas uraian di atas.

PENGETAHUAN MANUSIA
Pengetahuan
Objek
Paradigma
Metode

Kriteria

SAIN

FILSAFAT

MISTIK
empiris

abstrak-rasional

abstrak-supranatural
sain

rasional

mistik
metode ilmiah

matode rasional

latihan, percaya
rasional-empiris

Rasional

rasa, iman, logis, kadang empiris

            Yang belum diurus didalam uraian tentang pengetahuan di atas ialah pengetahuan seni (yaitu tentang indah tidak indah) dan etika (tentang baik dan tidak baik). Saya belum tahu, dimana kaplingnya dan bagaimana mengkaplingkannya. Agaknya objek pengetahuan seni adalah objek empiris, abstrak-rasional, dan abstrak-supra-rasional; paradigmanya mungkin kumpulan tiga paradigma diatas, metodenya juga demikian dan kriterianya ialah indah tidak-indah. Mengenai pengetahuan tentang baik tidak-baik (etika), dugaan saya sampai saat ini, pengetahuan tentang baik tidak-baik itu sama dengan seni tadi; ia menggunakan tiga paradigma di atas, metodenya juga demikian, dan ukurannya ialah baik dan tidak baik. Nah, baik dan tidak baik itu pun memiliki persoalan yang tidak sederhana; baik menurut apa? Buruk menurut siapa? Pada zaman (waktu) kapan? Saya mengharap ada ahli lain yang bersedia dan mau serta mampu menyempurnakan matrik di atas.

Logis dan Rasional
            Kant antara lain mengatakan bahwa rasional itu sebenarnya sesuatu yang masuk akal sebatas hukum alam.            Ternyata istilah logis dan rasional merupakan dua istilah yang sangat populer dalam arti dua istilah itu amat sering digunakan orang, baik ia kaum terpelajar naupun kaum yang bukan tergolong terpelajar, digunakan orang kota dan juga orang desa, bahkan anak-anak pun banyak yang sering menggunakan kedua istilah itu.
            Yang kita dapat ialah (1) memang dua istilah itu popular dalam arti sering digunakan oleh hampir semua orang dari semua kelas dan golongan, (2) Pengguna istilah itu tidak mempedulikan apakah dua istilah sama persis atau ada persamaan atau sama sekali berbeda.
            Kant mengatakan bahwa apa yang kita katakana rasional itu ialah suatu pemikiran yang masuk akal tetapi menggunakan ukuran hukum alam. Dengan kata lain, menurut Kant rasional itu ialah kebenaran akal yang diukur dengan hukum alam.
            Kesimpulannya jelas: (1) Sesuatu yang rasional ialah sesuatu yang mengikuti atau sesuai dengan hukum alam; (2) Yang tidak rasional ialah yang tidak sesuai dengan hukum alam; (3) Kebenaran akal diukui dengan hukum alam. Jadi, di sini, akal itu sempit saja, hanya sebatas hukum alam. Itulah sebabnya saya dapat mengatakan bahwa pemikiran yang rasional sebenarnya belum dapat disebut pemikiran tingkat sangat tinggi. Pemikiran rasional belum mampu mengungkap sesuatu yang tidak dapat diukur dengan hukum alam.
            Kesimpulannya ialah: Yang logis ialah yang masuk akal. Terdiri atas yang logis-rasional dan yang logis-supra-rasional.
Kita dapat membuat bebarapa ungkapan sebagai berikut:
1.      Yang logis ialah yang masuk akal.
2.      Yang logis itu mencakup yang rasional dan yang supra-rasional.
3.      Yang rasional ialah yang masuk akal dan sesuai dengan hukum alam.
4.      Yang supra-rasional ialah yang masuk akal sekalipun tidak sesuai dengan hukum alam.
5.      Istilah logis boleh dipakai dalam pengertian rasional atau dalam pengertian supra-rasional.
Beberapa kesimpulan sebagai implikasi konsep logis di atas ialah:
1.      Isi al-Quran ada yang rasional dan ada yang supra-rasional.
2.      Isi al-Qur'an itu semuanya logis; sebagian logis-rasional sebagiannya logis-supra-rasional.
3.      Rumus metode ilmiah yang selama ini logico-hypothetico-uerificatif;dapat diteruskan dengan penjelasan logik itu harus diartikan rasio.
4.      Mazhab Rasionalisme tidak dapat diterima oleh sistem ini; yang dapat diterima ialah mazhab Logisme.

            KOMENTAR:
Filsafat Ilmu memang bukan hanya mempelajari bagaimana sifat filsafat dan bagaimana kaidah Filsafat Ilmu, akan tetapi lebih jauh kita bisa memperdalam konteks keilmuan lain yang membuat khazanah pemikiran kita dalam filsafat lebih mendalam dan menyeluruh dalam artian komprehensif.






BAB 2
PENGETAHUAN SAIN
A. Ontologi Sain
Struktur sain seharusnya menjelaskan cabang-cabang sain, serta isi setiap cabang itu. Namun di sini hanya dijelaskan cabang-cabang sain dan itupun tidak lengkap.
1. Hakikat Pengetahuan Sain
Pada Bab 1 telah dijelaskan secara ringkas bahwa pengetahuan sain adalah pengetahuan rasional empiris. Masalah rasional dan empiris inilah yang dibahas berikut ini. Pertama, masalah rasional.
Hipotesis harus berdasarkan rasio, dengan kata lain hipotesis harus rasional.
Hipotesis saya itu belum diuji kebenarannya. Kebenarannya barulah dugaan. Tetapi hipotesis itu telah mencukupi dari segi kerasionalannya. Dengan kata lain, hipotesis saya itu rasional. Kata “rasional” di sini menunjukkan adanya hubungan pengaruh atau hubungan sebab akibat.
            Kedua, masalah empiris. Hipotesis saya itu saya uji (kebenarannya) mengikuti prosedur metode ilmiah. Untuk menguji hipotesis itu saya gunakan metode eksperimen dengan cara mengambil satu atau dua kampung yang disuruh makan telur secara teratur selama setahun sebagai kelompok eksperimen, dan mengambil satu atau dua kampung yang lain yagn tidak boleh makan telur, juga selama setahun itu, sebagai kelompok kontrol. Pada akhir tahun, kesehatan kedua kelompok itu saya amati. Hasilnya, kampung yang makan telur rata-rata lebih sehat.
            Sekarang, hipotesis saya semakin banyak makan telur akan semakin sehat atau telur berpengaruh positif terhadap kesehatan terbukti. Setelah terbukti – sebaiknya berkali-kali – maka hipotesis saya tadi berubah menjadi teori. Teori saya bahwa “Semakin banyak makan telur akan semakin sehat” atau “Telur berpengaruh positif terhadap kesehatan,” adalah teori yang rasional-empiris. Teori seperti inilah yang disebut teori ilmiah (scientific theory). Beginilah teori dalam sain.
            Cara kerja saya dalam memperoleh teori itu tadi adalah cara kerja metode ilmiah. Rumus baku metode ilmiah ialah: logico-hypothetico-verificatif (buktikan bahwa itu logis, tarik hipotesis, ajukan bukti empiris). Harap dicatat bahwa istilah logico dalam rumus itu adalah logis dalam arti rasional.
            Pada dasarnya cara kerja sain adalah kerja mencari hubungan sebab-akibat atau mencari pengaruh sesuatu terhadap yang lain. Asumsi dasar sain ialah tidak ada kejadian tanpa sebab.Asumsi ini oleh Fred N. Kerlinger (Foundation of Behavior Research, 1973:378) dirumuskan dalam ungkapan post hoc, ergo propter hoc (ini, tentu disebabkan oleh ini). Asumsi ini benar bila sebab akibat itu memiliki hubungan rasional.
            Ilmu atau sain berisi teori. Teori itu pada dasarnya menerangkan hubungan sebab akibat. Sain tidak memberikan nilai baik atau buruk, halal atau haram, sopan atau tidak sopan, indah atau tidak indah; sain hanya memberikan nilai benar atau salah. Kenyataan inilah yang menyebabkan ada orang menyangka bahwa sain itu netral. Dalam konteks seperti itu memang ya, tetapi dalam konteks lain belum tentu ya.

2. Struktur Sain
Dalam garis besarnya sain dibagi dua, yaitu sain kealaman dan sain sosial. Contoh berikut ini hendak menjelaskan struktur sain dalam bentuk nama-nama ilmu. Nama ilmu banyak sekali, berikut ditulis beberapa saja diantaranya:
1) Sain Kealaman
• Astronomi;
• Fisika: mekanika, bunyi, cahaya dan optik, fisika nuklir;
• Kimia: kimia organik, kimia teknik;
• Ilmu Bumi: paleontologi, ekologi, geofisika, geokimia, mineralogi, geografi;
• Ilmu Hayati: biofisika, botani, zoologi;

2) Sain Sosial
• Sosiologi: sosiologi komunikasi, sosiologi politik, sosiologi pendidikan
• Antropologi: antropologi budaya, antropologi ekonomi, entropologi politik.
• Psikologi: psikologi pendidikan, psikologi anak, psikologi abnormal;
• Ekonomi: ekonomi makro, ekonomi lingkungan, ekonomi pedesaan;
• Politik: politik dalam negeri, politik hukum, politik internasional
Agar sekaligus tampak lengkap, berikut ditambahkan Humaniora.
3) Humaniora
• Seni: seni abstrak, seni grafika, seni pahat, seni tari;
• Hukum: hukum pidana, hukum tata usaha negara, hukum adat (mungkin dapat dimasukkan ke sain sosial);
• Filsafat: logika, ethika, estetika;
• Bahasa, Sastra;
• Agama: Islam, Kristen, Confusius;
• Sejarah: sejarah Indonesia, sejarah dunia (mungkin dapat dimasukkan ke sain sosial). Demikian sebagian kecil dari nama ilmu (sain). Ditambahkan juga pengetahuan Humaniora (yang mungkin dapat digolongkan dalam sain sosial) dalam daftar di atas hanyalah dengan tujuan agar tampak lengkap.

B. Epistemologi Sain

Pada bagian ini diuraikan obyek pengetahuan sain, cara memperoleh pengetahuan sain dan cara mengukur benar-tidaknya pengetahuan sain.
1. Objek Pengetahuan Sain
Objek pengetahuan sain (yaitu objek-objek yang diteliti sain) ialah semua objek yang empiris. Jujun S. Suriasumantri (Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer, 1994: 105) menyatakan bahwa objek kajian sain hanyalah objek yang berada dalam ruang lingkup pengalaman manusia. Yang dimaksud pengalaman di sini ialah pengalaman indera.
            Menurut sain ia boleh meneliti apa saja, ia bebas; menurut filsafat akan tergantung pada filsafat yang mana; menurut agama belum tentu bebas.
2. Cara Memperoleh Pengetahuan Sain
            Perkembangan sain didorong oleh paham Muhanisme. Humanisme ialah paham filsafat yang mengajarkan bahwa manusia mampu mengatur dirinya dan alam. Humanisme telah muncul pada zaman Yunani Lama (Yunani Kuno).
            Orang Yunani Kuno sudah menemukan: manusia itulah yang membuat aturan itu. Humanisme mengatakan bahwa manusia mampu mengatur dirinya (manusia) dan alam. Jadi, manusia itulah yang harus membuat aturan untuk mengatur manusia dan alam.
            Bila aturan itu dibuat berdasarkan agama atau mitos, maka akan sulit sekali menghasilkan aturan yang disepakati.
Pertama, mitos itu tidak mencukupi untuk dijadikan sumber membuat aturan untuk mengatur manusia, dan kedua, mitos itu amat tidak mencukupi untuk dijadikan sumber membuat aturan untuk mengatur alam.
            Menurut mereka aturan itu harus dibuat berdasarkan dan bersumber pada sesuatu yang ada pada manusia. Alat itu ialah akal. Mengapa akal? Pertama, karena akal dianggap mampu, kedua, karena akal pada setiap roang bekerja berdasarkan aturan yang sama. Aturan itu ialah logika alami yang ada pada akal setiap manusia. Akal itulah alat dan sumber yang paling dapat disepakati. Maka, Humanisme melahirkan Rasionalisme.
            Rasionalisme ialah paham yang mengatakan bahwa akal itulah alat pencari dan pengukur pengetahuan. Pengetahuan dicari dengan akal, temuannya diukur dengan akal pula.
Dicari dengan akal ialah dicari dengan berpikir logis. Diukur dengan akal artinya diuji apakah temuan itu logis atau tidak. Bila logis, benar; bila tidak, salah. Nah, dengan akal itulah aturan untuk mengatur manusia dan alam itu dibuat. Ini juga berarti bahwa kebenaran itu bersumber pada akal.
            Dalam proses pembuatan aturan itu, ternyata temuan akal itu seringkali bertentangan. Kata seseorang ini logis, tetapi kata orang lain itu logis juga. Padahal ini dan itu itu tidak sama, bahkan kadang-kadang bertentangan. Orang-orang sophis pada zaman Yunani Kuno dapat membuktikan bahwa bergerak sama dengan diam, kedua-duanya sama logisnya.
            Yang diperoleh ialah berpikir logis tidak menjamin diperolehnya kebenaran yang disepakati. Padahal, aturan itu seharusnya disepakati. Kalau begitu diperlukan alat lain. Alat itu ialah Empirisme. Empirisisme ialah paham filsafat yang mengajarkan bahwa yang benar ialah yang logis dan ada bukti empiris.
Menurut Empirisisme yang benar adalah bergerak, sebab secara empiris dapat dibuktikan bahwa anak panah itu bergerak. Dengan Empirisisme inilah aturan (untuk mengatur manusia dan alam) itu dibuat. Kekurangan Empirisisme ialah karena ia belum terukur. Empirisisme hanya sampai pada konsep-konsep yang umum.
            Positivisme mengajarkan bahwa kebenaran ialah yang logis, ada bukti empirisme, yang terukur. “Terukur” inilah sumbangan penting Positivisme. Positivisme sudah dapat disetujui untuk memulai upaya membuat aturan untuk mengatur manusia dan mengatur alam. Kata Positivisme, ajukan logikanya, ajukan bukti empirisnya yang terukur. Tetapi bagaimana caranya? Kita masih memerlukan alat lain. Alat lain itu ialah Metode Ilmiah. Sayangnya, Metode Ilmiah sebenarnya tidak mengajukan sesuatu yang baru; Metode Ilmiah hanya mengulangi ajaran Positivisme, tetapi lebih operasional. Metode Ilmiah mengatakan, untuk memperoleh pengetahuan yang benar lakukan langkah berikut: logico-hypothetico-verificartif. Maksudnya, mula-mula buktikan bahwa itu logis, kemudian ajukan hipotesis (berdasarkan logika itu), kemudian lakukan pembuktian hipotesis itu secara empiris.
Dengan rumus Metode Ilmiah inilah kita membuat aturan itu. Metode Ilmiah itu secara teknis dan rinci menjelaskan dalam satu bidang ilmu yang disebut Metode Riset. Metode Riset menghasilkan Model-model Penelitian. Nah, Model-model Penelitian inilah yang menjadi instansi terakhir – dan memang operasional – dalam membuat aturan (untuk mengatur manusia dan alam) tadi.
Urutan dalam proses terwujudnya aturan seperti yang diuraikan di atas ialah sebagai berikut:

Humanisme

Rasionalisme

Empirisme
 

Positivisme


 
Metode Ilmiah

Metode Riset

Model-model Penelitian


 


Aturan untuk Mengatur Manusia                                                      Aturan untuk Mengatur Alam


3. Ukuran Kebenaran Pengetahuan Sain
Ilmu berisi teori-teori. Jika Anda mengambil buku Ilmu (sain) Pendidikan, maka Anda akan menemukan teori-teori tentang pendidikan. Ilmu Bumi membicarakan teori-teori tentang bumi, Ilmu Hayat membahas teori-teori tentang makhluk hidup. Demikian seterusnya. Jadi, isi ilmu ialah teori. Jika kita bertanya apa ukuran kebenaran sain, maka yang kita tanya ialah apa ukuran kebenaran teori-teori sain.
            Ada teori Sain Ekonomi: bila penawaran sedikit, permintaan banyak, maka harga akan naik. Teori ini sangat kuat, karena kuatnya maka ia ditingkatkan menjadi hukum, disebut hukum penawaran dan permintaan. Berdasarkan hukum ini, maka barangkali benar dihipotesiskan.
            Jika hipotesis terbukti, maka pada saatnya ia menjadi teori. Jika sesuatu teori selalu benar, yaitu jika teori itu selalu didukung bukti empiris, maka teori itu naik tingkat keberadaannya menjadi hukum atau aksioma.
            Hipotesis (dalam sain) ialah pernyataan yang sudah benar secara logika, tetapi belum ada bukti empirisnya. Belum atau tidak ada bukti empiris bukanlah merupakan bukti bahwa hipotesis itu salah. Hipotesis benar, bila logis, titik. Ada atau tidak ada bukti empirisnya adalah soal lain. Dari sini tahulah kita bahwa kelogisan suatu hipotesis – juga teori – lebih penting ketimbang bukti empirisnya. Harap dicatat, bahwa kesimpulan ini penting.

C. Aksiologi Sain
Pada bagian ini dibicarakan tiga hal saja, petama kegunaan sain; kedua, cara sain menyelesaian masalah; ketiga, netralitas sain. Sebenarnya, yang kedua itu merupakan contoh aplikasi yang pertama.
1. Kegunaan Pengetahuan Sain
Secara umum, teori artinya pendapat yang beralasan. Alasan itu dapat berupa argumen logis, ini teori filsafat; berupa argumen perasaan atau keyakinan dan kadang-kadang empiris, ini teori dalam pengetahuan mistik; berupa argumen logis-empiris, ini teori sain.
Sekurang-kurangnya ada tiga kegunaan teori sain: sebagai alat membuat eksplanasi, sebagai alat peramal, dan sebagai alat pengontrol.
1) Teori Sebagai Alat Ekspalanasi
Berbagai sain yang ada sampai sekarang ini secara umum berfungsi sebagai alat untuk membuat eksplanasi kenyataan. Menurut T. Jacob (Manusia, Ilmu dan Teknologi, 1993: 7-8) sain merupakan suatu sistem eksplanasi yang paling dapat diandalkan dibandingkan dengan sistem lainnya dalam memahami masa lampau, sekarang, serta mengubah masa depan.
Menurut teori Sain Pendidikan, anak-anak yang orang tuanya cerai (biasanya disebut broken home), pada umumnya akan berkembang menjadi anak nakal. Penyebabnya ialah karena anak-anak itu tidak mendapat pendidikan yang baik dari kedua orang tuanya. Padahal pendidikan dari kedua orang tua amat penting dalam pertumbuhan anak menuju dewasa.
2) Teori Sebagai Alat Peramal
Dalam contoh kurs dolar tadi, dengan mudah orang ahli meramal. Misalnya, karena bulan-bulan mendatang hutang luar negeri jatuh tempo semakin banyak, maka diprediksikan kurs rupiah terhadap dolar akan semakin lemah. Ramalah lain dapat pula dibuat, misalnya, harga barang dan jasa pada bulan-bulan mendatang akan naik. Tepat dan banyaknya ramalan yang dapat dibuat oleh ilmuwan akan ditentukan oleh kekuatan teori yang ia gunakan, kepandaian dan kecerdasan; dan ketersediaan data di sekitar gejala itu.
3) Teori Sebagai Alat Pengontrol
Eksplanasi merupakan bahan untuk membuat ramalan dan kontrol. Ilmuwan, selain mampu membuat ramalan berdasarkan eksplanasi gejala, juga dapat membuat kontrol.
            Perbedaan prediksi dan kontrol ialah prediksi bersifat pasif; tatkala ada kondisi tertentu, maka kita dapat membuat prediksi, misalnya akan terjadi ini, itu, begini atau begitu. Sedangkan kontrol bersifat aktif; terhadap sesuatu keadaan, kita membuat tindakan atau tindakan-tindakan agar terjadi ini, itu, begini atau begitu.
2. Cara Sain Menyelesaian Masalah
Ilmu atau sain – yang isinya teori – dibuat untuk memudahkan kehidupan. Bila kita menghadapi kesulitan (biasanya disebut masalah), kita menghadapi dan menyelesaikan masalah itu dengan menggunakan ilmu (sebenarnya menggunakan teori ilmu).
Janganlah hendaknya terlalu mengandalkan sain tatkala timbul masalah. Ada dua sebab. Pertama, belum tentu teori sain yang ada mampu menyelesaikan masalah yang dihadapi. Teori itu mungkin memadai pada zaman tertentu, digunakan untuk menghadapi masalah yang sama pada zaman yang lain, belum tentu teori itu efektif. Kedua, belum tentu setiap masalah tersedia teori untuk menyelesaikannya. Masalah selalu berkembang lebih cepat daripada perkembangan teori. Ilmu kita ternyata tidak pernah mencukupi untuk menyelesaikan masalah demi masalah yang diharapkan kepada kita.
Apabila sain gagal menyelesaikan suatu masalah yang diajukan kepadanya, maka sebaiknya masalah itu dihadapkan ke filsafat, mungkin filsafat mampu menyelesaikannya. Tentu dengan cara filsafat atau mungkin pengetahuan mistik dapat membantu. Yang terbaik ialah setiap masalah diselesaikan secara bersama-sama oleh sain, filsafat dan mistik, yang bekerjasama secara terpadu.
3. Bonus
Netralitas Sain
Pada tahun 1970-an terjadi polemik antara Mukti Alin (IAIN Yogyakarta) dengan Sadali (ITB). Mukti Ali menyatakan bahwa sain itu netral, sementara Sadali berpendapat sain tidak netral. Ternyata Mukti Ali hanya memancing, ia tidak sungguh-sungguh berpendapat begitu.
Netral biasanya diartikan tidak memihak. Dalam kata “sain netral” pengertian itu juga terpakai. Artinya: sain tidak memihak pada kebaikan dan tidak juga pada kejahatan. Itulah sebabnya istilah sain netral sering diganti dengan istilah sain bebas nilai. Nah, bebas nilai (value free) itulah yang disebut sain netral; sedangkan lawannya ialah sain terikat, yaitu terikat nilai (value bound).
            Bila sain itu kita anggap netral, atau kita mengatakan bahwa sain sebaiknya netral keuntungannya ialah perkembangan sain akan cepat terjadi. Karena tidak ada yang menghambat atau menghalangi tatkala peneliti (1) memilih dan menetapkan objek yang hendak diteliti, (2) cara meneliti, dan (3) tatkala menggunakan produk penelitian. Orang yang menganggap sain tidak netral, akan dibatasi oleh nilai dalam (1) memilih objek penelitian, (2) cara meneliti, dan (3) menggunakan hasil penelitian.
Tatkala akan meneliti kerja jantung manusia, orang yang beraliran sain tidak netral akan mengambil – mungkin – jantung kelinci atau jantung hewan lainnya yang paling mirip dengan manusia. Orang yang beraliran sain netral – mungkin – akan mengambil orang gelandangan untuk diambil jantungnya. Orang yang beraliran sain value bound, dalam epistemologi akan meneliti jantung itu tidak dengan menyakiti kelinci itu, sementara orang yang menganut sain value free tidak akan mempedulikan apakah subjek penelitian menderita atau tidak. Orang yang beraliran sain netral akan menggunakan hasil penelitian itu secara bebas, sedang orang yang bermazhab sain terikat akan menggunakan produk itu hanya untuk kebaikan saja. Jadi, persoalan netralitas sain itu terdapat baik pada epistemologi, maupun aksiologi sain. Sebenarnya dalam ontologi pun demikian. Dalam contoh di atas objek dan metode penelitian adalah epistemologi, sedang penggunaan hasil penelitian adalah aksiologi. Ontologinya ialah teori yang ditemukan itu. Ontologi itu pun netral, ia tidak boleh melawan nilai yang diyakini kebenarannya oleh peneliti.
Apa kerugiannya bila kita ambil paham sain netral? Bila kita paham sain netral? Bila kita pilih paham sain netral maka kerugiannya ialah ia akan melawan keyakinan, misalnya keyakinan yang berasal dari agama. Percobaan pada manusia mungkin akan diartikan sebagai penyiksaan kepada manusia. Maka, penganut sain tidak netral akan memilih objek penelitian yang mirip dengan manusia. Untuk melihat proses reproduksi, tentu harus ada pertemuan antara sperma an ovum. Untuk itu peneliti dari kalangan penganut sain netral tidak akan keberatan mengambil sepasang lelaki-perempuan yang belum nikah untuk mengadakan hubungan kelamin yang dari situ diamati bertemunya sperma dan ovum. Peneliti yang menganut sain tidak netral akan melakukan itu terhadap pasangan yang telah menikah. Ini pada aspek epistemologi.
Yang paling merugikan kehidupan manusia ialah bila paham sain netral itu telah menerapkan pahamnya pada aspek aksiologi. Mereka dapat saja menggunakan hasil penelitian mereka untuk keperluan apapun tanpa pertimbangan nilai.
Paham sain netral sebenarnya telah melawan atau menyimpang dari maksud penciptaan sain. Tadinya sain dibuat untuk membantu manusia dalam menghadapi kesulitan hidupnya. Paham ini sebenarnya telah bermakna bahwa sain itu tidak netral, sain memihak pada kegunaan membantu manusia menyelesaikan kesulitan yang dihadapi oleh manusia. Sementara itu, paham sain netral justru akan memberikan tambahan kesulitan bagi manusia. Kata kunci terletak dalam aksiologi sain, yaitu ini: tatkala peneliti akan membuat teori, sebenarnya ia telah berniat akan membantu manusia menyelesaikan masalah dalam kehidupannya, mengapa justru temuannya menambah masalah bagi manusia? Karena ia menganut sain netral padahal seharusnya ia menganut sain tidak netral.
Berdasarkan uraian sederhana di atas dapatlah ditarik kesimpulan bahwa yang paling bijaksana ialah kita memihak atau memilih paham bahwa sain tidaklah netral. Sain itu bagian dari kehidupan, sementara kehidupan itu secara keseluruhan tidaklah netral.
Paham sain tidak netral adalah paham yang sesuai dengan ajaran semua agama dan sesuai pula dengan niat ilmuwan tatkala menciptakan teori sain. Jadi, sebenarnya tidak ada jalan bagi penganut sain netral.
Berikut dikutipkan sebagian dari tulisan Prof. Herman Soewardi, guru besar Filsafat Ilmu Universitas Padjadjaran Bandung. Kutipan ini dapat digunakan untuk menambah bahan pertimbangan dalam menentukan apakah sain sebaiknya netral atau tidak netral.
Menurut Herman Soewardi (Orasi Ilmiah pada Dies Natalis IAIN Sunan Gunung Djati Bandung ke-36 8 April 2004), dari sudut pandang epistemologi, sain terbagi dua, yaitu Sain Formal dan Sain Emperikal. Menurutnya, Sain Formal itu berada di pikiran kita yang berupa kontemplasi dengan menggunakan simbol-simbol, merupakan implikasi-implikasi logis yang tidak berkesudahan. Sain Formal itu netral karena ia berada di dalam kepala kita dan ia diatur oleh hukum-hukum logika.
Adapun Sain Emperikal, ia tidak netral. Sain Emperikal merupakan wujud konkret, yaitu jagad raya ini, isinya ialah jalinan-jalinan sebab akibat. Sain Emperikal itu tidak netral karena dibangun oleh pakar berdasarkan paradigma yang menjadi pijakannya, dan pijakannya itu merupakan hasil penginderaan terhadap jagad raya. Benar bahwa Sain Emperikal itu terdiri atas logika (jalinan sebab akibat), namun ia dimulai dari suatu pijakan yang bermacam-macam. Pijakan itu tentulah nilai. Maka sifatnya tidak netral. Tidak netral karena dipengaruhi oleh pijakannya itu.
Selanjutnya Herman Soewardi menambahkan uraian berikut. Barangkali kita menyangka bahwa kausalitas itu dimana-mana sama, biasanya dirumuskan dalam bentuk proposisi X menyebabkan Y (X 􀃆 Y). Memang begitu. Namun, bila diamati lebih dalam, ternyata hal itu tidaklah sederhana itu. Baiklah kita periksa pandangan David Hume, Immanuel Kant dan Al-Ghazali.
David Hume mengatakan bahwa dalam alam pikiran Empiricisme tidak dapat dibenarkan adanya generalisasi sampai munculnya hukum X 􀃎 Y. Dari suatu kejadian sampai menjadi hukum (teori) diperlukan adanya medium yang berupa reasoning jalinan sebab akibat yang banyak sekali. Dan reasoning itu tidak mungkin. Tidak mungkin karena rumitnya itu. Karena itu, hanyalah kebiasaan orang saja (tidak ada dasar logikanya) untuk menyimpulkan setiap X akan diikuti Y. Pendapat ini terkenal dengan istilah skeptisisme Hume. Jadi, menurut Hume, sebab akibat itu sebenarnya tidaklah diketahui.
Immanuel Kant membantah skeptisisme Hume itu dengan mengatakan bahwa ada pengetahuan bentuk ketiga, yaitu a priori sintetik. Ini menurut Herman Soewardi, adalah suatu jalinan sintetik yang sudah ada, yang keadaannya itu diterangkan oleh Kant secara transendental. Inilah medium yang dicari oleh Hume, yang bagi orang Islam jalinan sintetik itu adalah ciptaan Tuhan yang sudah ada sejak semula. Suatu kejadian X → Y sebenarnya terjadi di atas medium itu, kejadian X → Y itulah yang selanjutnya menjadi hukum yang general.
Tampak pada kita bahwa dengan mengikuti acara Emperisisme, siapapun tidak akan mampu menunjukkan medium itu. Sehubungan dengan ini Kant mengatakan bahwa Tuhan lah yang menciptakan medium tersebut.
Tentang kemahakuasaan Tuhan itu Al-Ghazali menyatakan lebih tandas lagi sehubungan dengan hukum X → Y. Kata Al-Ghazali, kekuatan X menghasilkan Y bukan pada atau milik X itu, melainkan pada atau milik Tuhan. Bila kapas diletakkan di atas api, kekuatan untuk terjadinya terbakar atau tidak terbakar kapas itu bukan pada api melainkan pada Tuhan. Terbakarnya kapas oleh api merupakan suatu regularitas atau kebiasaan atau adat, adat itu dari Tuhan, namun pada kejadian khusus seperti pada Nabi Ibrahim, api tidak membakar. Karena Tuhan pada waktu itu tidak memberikan kekuatan membakar pada api. Ini merupakan hukum kausalitas yang sangat fundamental, bahwa kekuatan pada penyebab (X) adalah kekuatan Tuhan. Sekarang, istilah yang mendunia untuk menyatakan kekuatan Tuhan itu ialah faktor Z.
Kekuatan dari atau pada Tuhan itu, baiklah kita sebut faktor Z, menghasilkan suatu pengertian bahwa kausalitas itu sifatnya berubah dari cukup (sufficient) menjadi tergantung (contingent) pada faktor lain (dalam hal ini Tuhan).
Dari kesimpulan itu akan muncul kesimpulan lain, yaitu kausalitas atau linkage menjadi bergeser dari tidak memperhitungkan kehendak Tuhan ke memperhitungkan kehendak Tuhan. Dari sini muncul beberapa pergeseran, yaitu:
• Dari deterministik (pasti) bergeser ke stokastik (mungkin);
• Dari sebab akibat terjadi pada waktu yang sama ke sebab akibat terjadi pada waktu yang berlainan;
• Dari cukup (sufficient) bergeser ke tergantung (contingent) pada faktor Z;
• Dari niscaya (necessary) bergeser ke berganti (sustitutable).
Sain Formal dikatakan netral karena hukum-hukumnya bukan dibuat oleh manusia. Hukum-hukumnya dibuat oleh Tuhan. Hukum-hukumnya itu ada di dalam kepala kita.

Adapun Sain Emperikal, ia tidak netral. Tidak netral karena ia dibangun berdasarkan pijakan seseorang pakar yang mungkin berada dengan pakar lain. Tentang ini Thomas Kuhn memberikan eksplanasi sebagai berikut.
Sain Emperikal disebut Kuhn Sain Normal (Normal Science). Sain Normal muncul dari paradigma, yaitu suatu pijakan, dari seseorang pakar. Dalam perkembangannya Sain Normal mengahadapi fenomena yang tidak dapat diterangkan oleh teori sain yang ada, ini disebut anomali. Selanjutnya anomali ini menimbulkan krisis (ketidakpercayaan para pakar terhadap teori itu) sehingga akan timbul paradigma baru atau pijakan baru. Inilah perkembangan sain, berubah dari paradigma yang satu ke paradigma yang lain. Karena itu Sain Normal itu tidak netral.
Masalah utama Sain Normal ialah masalah penginderaan. Padahal kita tahu bahwa metode andalan – bahkan metode satu-satunya bagi Sain Normal ialah observasi (dalam arti luas), sementara observasi itu sangat mengandalkan penginderaan. Tetapi pada penginderaan inilah kelemahan utama Sain Normal.
Menurut cara berpikir Empirisisme penginderaan adalah modal fundamental bagi manusia untuk mengetahui jagad raya. Tetapi, seperti dikatakan Kuhn, yang orang ketahui itu tidaklah bersifat tetap, melainkan sementara dan akan berubah setelah terjadi anomali.
.

Krisis Sain Modern

Sain modern ialah sain empirikal, yaitu sain normal menurut Kuhn. Tulisan ini esensinya diambil dari buku Herman Soewardi Tiba Saatnya Islam Kembali Kaffah Kuat dn Berijtihad (Suatu Kognisi Baru tentang Islam), 1999, Bagian Tiga Bab 14 yang berjudul Tarnas The Cisis of Modern Science.
Pada tahun 1993, buku Tarnas yang berjudul The Passion of the Western Mind, terbit. Dalam buku itu ada sebuah bab yang berjudul The Crisis o Modern Science.
Menurut Tarnas, sedikitnya ada enam hal yang menarik perhatian tentang sain modern. Pertama, postulatat dasar sain modern ialah space, matter, causality, dan observation, ternyata semuanya dinyatakan tidak benar. Kedua, dianutnya pendapat Kant bahwa yang orang katakan jagad raya, bukanlah jagad raya yang sebenarnya, tetapi jagad raya sebagaimana diciptakan oleh pikiran manusia. Ketiga, determinisme Newton kehilangan dasar, orang pindah ke stochastic. Keempat, partikel-partikel sub-atomatik terbuka untuk interpretsi spiritual. Kelima, adanya uncertainty sebagaimana ditemukan oleh Heisenberg. Keenam, kerusakan ekologi dan atmosfir yang menyeluruh yang disebut Tarnas planetary ecological crisis.
Pertama, tentang space atau jagad raya. Pandangan sekarang yang berlaku ialah bahwa space itu terbatas (finite), tetapi lepas bentuknya lengkung (tidak linier) sehingga garis edar benda-benda angkasa berbentuk elips, bukan karena tertarik gravitasi ke arah matahari melainkan memang bentuknya lengkung. Kini, berlaku pandangan empat dimensi space-time, bukan hanya tiga seperti pada geometri Eucled.
Jagad raya yang kita ketahui bukanlah jagad raya yang sebenarnya, ia adalah jagad raya ciptaan manusia. Inilah pandangan Kant. Sekarang, terbukti penemuan-penemuan pada mekanika kuantum menyokong pandangan Kant itu. Maka, yang dikatakan jagad raya (space) itu hanyalah hubungan manusia dengan jagad raya, atau jagad raya sebagaimana tampak menurut apa yang dipertanyakan oleh manusia.
Kedua, tentang matter atau materi. Baik Democritus maupun Newton, memandang materi itu solid. Pandangan sekarang menyatakan materi itu kosong. Mekanika kuantum membuktikannya.
Ketiga, tentang kausalitas. Sain modern menganggap kausalitas itu sederhana. Kini ditemukan bahwa partikel-partikel saling mempengaruhi tanpa dapat dipahami bagaimana hubungan kausalitas di antara mereka; kausalitas itu kompleks.
Keempat, tentang uncetainty dari Heisenberg. Ternyata observasi tdh elektron hanya dapat dilakukan terhadap salah satu posisi atau kecepatannya, selain itu observer tidak dapat mengobservasinya tanpa merusaknya. Heisenberg menemukan bahwa gerakan atom tidak dapat keduanya ditetapkan sekaligus, posisi atau kecepatannya. Ini mempertanyakan tentang kelemahan observasi.
Kelima, tentang partikel sub-atomatik. Capra mendapati bahwa ada semacam kecerdasan elektron, sehingga kini fisika terbuka untuk menerima interpretasi spiritual.
Keenam, kerusakan ekologi menyeluruh. Ini adalah tanda-tanda konkret adanya dampak buruk sain, ia merupakan kebalikan dari yang diharapkan dari sain. Dampak itu antara lain berupa kontaminasi air, udara, tanah, efek buruk berganda pada kehidupan tetumbuhan dan hewan, kepunahan berbagai species, kerusakan hutan, erosi tanah, pengurasan air tanah, akumulasi ilmiah yang toksik, efek rumah kaca, bolongnya ozon, salah satu ujungnya ialah ekonomi dunia semakin runyam.

Pengembangan Ilmu

Jika Anda membuka Ilmu Bumi, Anda akan melihat bahwa isinya ialah teori tentang bumi; buku Ilmu Hayat isinya adalah teori tentang makhluk hidup; buku Sejarah isinya teori tentang kejadian masa lalu; buku Filsafat isinya teori filsafat, dan begitulah selanjutnya. Jadi, isi ilmu adalah teori.
Secara umum teori ialah pendapat yang beralasan. Semakin banyak makan telor akan semakin sehat atau telor berpengaruh positif terhadap kesehatan, adalah teori dalam sain. Bila permintaan meningkat maka harga akan naik, juga adalah teori sain. Menurut Plato, penjaga negara (presiden dan menteri) haruslah filosof dan mereka tidak boleh berkeluarga, jika berkeluarga maka mereka tidak akan beres menjaga negara. Ini teori filsafat. Jika penduduk suatu negara beriman bertakwa maka Tuhan akan menurunkan berkah bagi mereka dari langit. Ini salah satu teori dalam agama Islam. Jin dapat disuruh melakukan sesuatu. Ini teori dalam pengetahuan mistik. Teori adalah pendapat (yang beralasan).
Karena isi ilmu adalah teori, maka mengembangkan ilmu adalah teorinya. Ada beberapa kemungkinan dalam mengembangkan teori. Pertama, menyusun teori baru. Dalam hal ini memang belum pernah dari teori yang muncul, lantas seseorang menemukan teori baru. Kedua, menemukan teori baru untuk mengganti teori lama. Dalam kasus ini, tadinya sudah ada teorinya tetapi karena teori ini sudah tidak mampu menyelesaikan masalah yang mestinya ia mampu menyelesaikannya, maka teori itu diganti dengan teori baru. Ketiga, merevisi teori lama. Dalam hal peneliti atau pengembang, tidak membatalkan teori lama, tidak juga menggantinya dengan teori baru, ia hanya merevisi, ia hanya menyempurnakan teori lama itu. Keempat, membatalkan teori lama. Ia hanya membatalkan, tidak menggantinya dengan teori baru. Ini aneh: ia mengurangi jumlah teori yang sudah ada, ia membatalkan teori dan tidak menggantinya dengan teori baru, tetapi tetap dikatakan ia mengembangkan ilmu.
Bagaimana prosedur serta langkah-langkah pengembangan ilmu akan amat ditentukan oleh jenis ilmunya. Itu memerlukan organisasi, ada managernya. Itu memerlukan biaya tinggi kadang-kadang memerlukan tenaga yang sedikit atau banyak; memerlukan waktu, ada yang sebentar dari yang lama, bahkan ada yang sangat lama.

KOMENTAR :
Refleksi dari pada BAB 2 yang sangat bermanfaat bagi tingkat pembelajaran mahasiswa ini adalah mengerti bagaimana problematika dalam kehidupan bermasyarakat . Alhasil, kita sadar akan kehidupan ini banyak sekali yang harus kita telaah bukan hanya memikirkannya. Sebagai contoh kasus dengan adanya pemikiran disiplin Filsafat Ilmu, maka kita bisa memahami ilmu mistis. Hemat penyusun, sudah selayaknya kita bisa mengimplemetasikannya dalam kehidupan sehari-hari dari apa yang ada dalam buku ini.

No comments:

Post a Comment